Seberapa perlukah mencantumkan gelar akademik di undangan pernikahan?
Subscribe Today →
For exclusive Youth services Insider content.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Please briefly explain why you feel this user should be reported.
For exclusive Youth services Insider content.
Parents Helped
Each Year
Exclusive
content
Dalam etiketnya, tidak ada larangan untuk mencantumkan gelar akademik,sehingga menurut hemat saya,ini benar-benar menjadi ranah “pilihan pribadi” saja.
Akan tetapi,seperti segala yang ada di muka bumi ini, selalu saja ada tren, demikian pula dengan redaksi undangan perkawinan.Sekarang ini, hampir tak ada lagi yang mencantumkan gelar.Paling tidak, yang saya terima,biasanya tidak mencantumkan lagi gelar akademik.
Seberapa perlu atau tidaknya, tergantung pertimbangan dan kesepakatan masing-masing.
Tapi bagi saya, perlu.
Kenapa?
Sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih saya pada orang tua yang sudah sepenuh hati menyekolahkan saya. Banyak keringat tercurah dan letih yang tak dirasa demi memenuhi biaya pendidikan saya. Tanpa beasiswa, seperangkat fasilitas penunjang, belum lagi masa studi 7 tahun tanpa cuti. Tentunya tidak mudah, tidak murah.
Perlu atau tidak? Sesuaikan situasi dan kondisi saja.
Ada teman saya si A, niatnya polosan, tidak mencantumkan gelar. Tapi pihak besan dan orang tua inginnya dicantumkan. Akhirnya ya dicantumkan.
Lalu teman saya si B, karena calon suaminya korban DO, tidak memiliki gelar akademik. Demi menghargai si calon suami, tidak mencantumkan gelarnya. Dan tidak ada pihak yang keberatan.
Saya rasa kurang relevan karena gelar pendidikan akan lebih relevan bila digunakan dalam ranah akademis. Misalnya seorang dosen tamu yang mencantumkan gelar pendidikannya. Selain memang relevan, penggunaan gelar tersebut juga sebagai verifikasi atas keahlian, pengalaman dan strata di bidang tersebut.
Jika dilihat dari sisi yang lain, penggunaan gelar adalah untuk tujuan menunjukkan prestis dan kebanggaan atas gelar tersebut. Di zaman sekarang ini dimana sudah banyak sarjana, saya rasa penggunaan gelar pendidikan S1 tidak terlalu spesial. Lain cerita jika salah satu atau kedua mempelai pengantin memiliki jenjang pendidikan tinggi yang prestisius misalnya DR, Phd, doktor spesialis dan klinis dan sebagainya.
Tergantung kondisi dan situasi.
Kalau ditanya ke saya? Bagi saya penting. Ini mungkin tidak berlaku bagi semua orang. Tapi bagi saya, yang asalnya dari pelosok Sumatera dengan populasi masyarakat doyan nyinyir; maka pencantuman gelar akademik adalah hal yang perlu dilakukan.
Bukan untuk membangga-banggakan. Atau untuk menunjukkan kemampuan. Saya pribadi sih, lebih pengen gausah, karena yaampun ngapain.
Hal ini bertujuan untuk menghindari fitnah dan pertanyaan tetangga atau orang-orang yang diundang kepada keluarga khususnya orang tua saya dengan pertanyaan seperti;
“Loh katanya kuliah di Jawa? Gak selesai ya? Kok ini di undangan gelarnya gaada”
Tanya seperti itu sering terjadi di lingkungan saya hidup dan membesar, sehingga untuk menghindari hal tersebut lebih baik dicantumkan gelar saja.
Itupun kalau saya dikasi rezeki buat menikah….
Tidak perlu. Bagiku, pernikahan itu bukanlah ranah akademik dan ini lebih kepada acara pribadi yang tidak ada diskusi ilmiah sama sekali. Bila ada yang berasumsi bahwa aku tidak akan menyematkan gelar karena mengalah dengan pasangan, kurasa tidak. Aku akan menyematkan gelarku hanya di forum ilmiah dan medsos saja. Tidak lucu jika acara pernikahan, tapi ternyata malah jadinya ajang debat ilmiah yang saling lempar teori. 😀
Mengapa di medsos? Supaya aku bisa dimintai pertanggung jawaban jika aku menyampaikan informasi seputar biologi dan mereka yang menanyakan hal ini bisa mengetahui tentang gelar akademik yang aku punya.
Hmm, tergantung preferensi masing-masing ya. 😬
Karena pertanyaannya adalah ‘seberapa perlu’, mari kita buat 3 kriteria, yaitu ‘sangat perlu’, ‘perlu’, dan ‘tidak perlu’.
Menurut saya, sangat perlu mencantumkan gelar akademik di undangan pernikahan, kalau alasannya ingin memenuhi permintaan orang tua yang tidak bisa dinegosiasikan lagi. Bisa jadi karena Anda dari keluarga yang berpendidikan tinggi yang sudah secara turun-menurun selalu mencantumkan gelar akademik di undangan pernikahan di tiap generasinya. Biasanya kalo case-nya seperti ini, udah ga ada ba-bi-bu lagi, kudu harus cantumin sekarang juga supaya ‘tradisinya’ ga putus. 😬
Hukumnya menjadi ‘perlu’, kalau dengan menambahkan gelar itu bisa membuat Anda dan pasangan Anda dan keluarga Anda dan keluarga pasangan Anda senang. Kalopun ada salah 1 dari keempat subjek tadi yang tidak senang, masih bisa dikatakan ‘perlu’ karna mayoritas suaranya masih menang. Dan alasan penyebab ‘senangnya’ pun bermacam-macam ya. Bisa jadi sebagai salah satu bentuk aktulisasi dan apresiasi terhadap diri sendiri yang akhirnya setelah jatuh bangun jumpalitan naik turun, dapet tambahan titel juga di nama lengkap. Ga ada yang salah dengan itu. Kita semua berhak meng-klaim dan membagikan apa yang kita punya toh. 😬
Alasan lainnya, senang karena sebagai orang tua, dengan segala keterbatasan ekonomi dan situasi, akhirnya bisa menyekolahkan anak dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari orang tua itu sendiri. Apalagi dalam menjalaninya ternyata penuh liku-liku dan juga kerja keras. Ga ada salahnya kok sedikit show off dengan pencapaian yang kita raih, toh effortnya pun luar biasa. 😬
Untuk para mertua, biasanya senang karna wah lumayan juga nih bisa ikutan mentreng karna akhirnya dapat menantu yang pendidikannya tinggi. Seenggaknya pas tetangga buka surat undangan, komentarnya bakal bikin hati mertua yang belum tentu didenger ini berbunga-bunga. Membayangkan tetangga berkomentar, “Wah Bu A mantunya lulusan X loh. Udah berpendidikan, visualnya menarik pula.” sambil melihat foto calon mempelai yang terpampang hampir setengah halaman undangan. 😅
Alasan lainnya yang membuat hal itu perlu dilakukan, kalo kamu dan pasangan kamu tipikal yang gengsian. Kalo udah gini, sebaiknya ga usah pikir panjang, langsung putuskan untuk tulis gelar di undangan. Dibanding nanti tiap malem menjelang hari H kamu kepikiran terus kan. Takut diomongin si A B C D karna ga pake gelar. Atau setelah nikah jadi nyesel sendiri, “Kenapa ga pake gelar ya? Sayang banget, padahal pasangan aku kan seorang profesor dan dokter. Biar si A B C D paham kalo tipeku tuh bukan yang ecek-ecek. Jadi dia ga bisa terus-terusan ngomongin aku di belakang gini cuma karna gatau latar belakang pasanganku.” Ya kira-kira seperti itulah dialognya kalo di sinetron-sinetron. 😬
Nah, semua kebimbangan terkait apa perlu nyantumin gelar di undangan itu akan ‘tidak perlu’ jawabannya kalau kamu orangnya cuek, orang tua dan calon mertua ga nuntut untuk nyantumin juga, dan kamu (plus pasangan) tipikal orang yang ga peduli omongan orang lain. Selalu menganggap semua omongan maupun rumor maupun desas-desis dari tetangga atau teman-teman yang nantinya akan diundang itu sebagai angin lalu. Pikiranmu dan pasanganmu se-santai itu menanggapi respon mereka-mereka yang seolah paling paham dan tau kamu padahal mah nol besar. Kalo kamu dan pasangan dan keluarga memiliki sikap (luar biasa) seperti ini, sepertinya ga perlu nyantumin pun gapapa. Udah paling bener ga nyantumin gelar.😉
Selain jadi hemat space di kolom undangan karna ga perlu nambain font untuk 2, 3 huruf di samping nama, ini juga bisa mengurangi asumsi-asumsi atau judgement dari para penerima undangan. Ga ada lagi komentar, “Ya ampun, anak Bu A, sayang banget sekolah tinggi-tinggi ampe S2, tapi nikahnya sama yang ga S2.” atau komentar, “Kok mau ya menantu Bu A ini nikah sama anak Bu A? Kan mereka beda level.”, dan komentar lainnya yang bisa bikin hati rasanya teriris pas dengernya. 😌
Ya, after all, apapun yang kita lakukan dan putuskan, selalu ada orang yang berkomentar, selalu ada orang yang suka dan ga suka dengan keputusan kita. Dan itu di luar kendali kita. Kita ga bisa kontrol apa yang orang lain lakukan ke kita, tapi kita bisa kontrol apa yang akan kita lakukan terhadap orang lain itu. Balik lagi, disini ga ada yang benar atau salah, karena semua tergantung dari preferensi dan karakter masing-masing orang. Ga semua orang itu bisa cuek dalam menanggapi komentar orang lain, dan ga semua orang itu bisa selalu memprioritaskan kesenangan mereka di atas segalanya. 😊
Disclaimer, ini hanya opini pribadi saja. Bisa diterima ataupun tidak. 😬
Semoga ini membantu ya. 😊
Hidup di negara yang kultur feodalnya kuat namun bersingungan dengan demokrasi adalah hal yang unik. Tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di negara-negara dunia ketiga lain yang sangat mementingkan pangkat atau jabatan, dimana pangkat atau jabatan itu yang seharusnya menjadi atribut manusia maka dalam kultur-kultur seperti Indonesia menjadi terbalik.
Seakan-akan tanpa pangkat atau jabatan manusia tidak lagi menjadi seorang manusia.
Pencantuman gelar akademik adalah salah satu kultur feodal yang masih tersisa di era demokrasi modern, bahkan seseorang dapat tersinggung jika gelar tersebut tidak dicantumkan, dianggap menghina, ngambek dan tidak akan hadir di acara undangan tersebut.
Jangan kan gelar akademis, gelar ilusif seperti haji-pun dapat menjadikan pemicu perang dunia ketiga antar tetangga. Bayangkan pentingnya atribut dalam kultur feodal.
Jadi bagi saya pencantuman gelar akademis (apalagi di undangan pernikahan) adalah sangat tidak penting namun harus tetap ditulis demi menjaga perasaan orang yang diundang.
Lucu ya bangsa ini, yang berpendidikan saja tidak ada rasa toleransi terhadap atribut hahaha…
Pernah kepengaruh jawaban edgy semacam “Yaelah biar apa?”
Sampe aku tamat S2 di kampus kuning. Dapat undangan nikah dari pasangan yang sama-sama ambil S2 meskipun berbeda kampus & jurusan. Yg seperti mereka yg seharusnya disebut couple goals menurutku. Saling nguatin pas kerja-berjuang nabung buat nikah-sembari menyelesaikan pendidikan S2nya.
Lalu undangan digital dari kedua mempelai masuk di wa saya. Hal pertama yang saya rasakan, haru biru ikut bahagia melihat perjuangan keduanya menamatkan pendidikan dengan segala aral melintangnya.
Hal kemudian yang saya lihat, ternyata Ibu dari mempelai perempuan juga memiliki gelar magister & ayah mempelai perempuan hanya bergelar sarjana. Saya selalu salut dengan pria yang bisa menerima perempuannya yang menggapai pendidikan lebih tinggi.
Dari hal ini pandangan saya berubah.
Biarlah orang menikmati hasil lelahnya menyelesaikan pendidikannya tersebut. Sebab untuk mendapat gelar akademis itu privillege. Apalagi sampai jenjang tinggi.
Perkara “Tasya Kamila saja tidak pakai.” Eyalah Tasya tidak pakai tapi 1 Indonesia tau ia & suaminya berpendidikan tinggi, toh. Apa sulitnya menghargai kebanggaan orang lain? 😊